Kamis, 13 Januari 2011

Makalah Tindak Pidana Korupsi


ABSTRAK
Korupsi yaitu perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan. Korupsi dapat terjadi karena berbagai faktor misalnya pendapatan yang rendah, adanya kesempatan, dan ada juga faktor dari luar yaitu bujukan oranglain, atau kurangnya control diri. Korupsi sangat merugikan rakyat maupun Negara. Sebagian besar para koruptor adalah para pejabat pemerintah yang diberi kepercayaan dan wewenang tetapi banyak yang menyelewengkan.
Orang yang kedapatan melakukan tindakan korupsi akan dijatuhi hukuman sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan pemerintah. Pemerintah Indonesia pun juga telah membentuk suatu badan penyelidikan masalah korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau sering disebut KPK. KPK memiliki tugas dan wewenang untuk mengusut tuntas masalah korupsi dari pusat hingga daerah.
Dampak korupsi yaitu dapat mengubah segala tatanan kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Upaya penanggulangan korupsi harus dimulai dari diri sendiri agar taat terhadap aturan yang dibuat pemerintah.
KATA KUNCI: korupsi, dampak, undang-undang, hukum.

I.       PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada.

B.   PERUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan korupsi.
2.      Bagaimanakah tindak pidana dalam kasus korupsi di Indonesia.
3.      Bagaimanakah kinerja KPK tehadap kasus korupsi sekarang ini.
4.      Bagaimanakah dampak korupsi terhadap Negara Indonesia dan bagaimana cara menanggulangi terjadinya korupsi.

II.    PEMBAHASAN
A.   PENGERTIAN KORUPSI
Menurut perspektif hukum, pengertian korupsi secara gamblang dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk tindak pidana korupsi.  Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana korupsi.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakar yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai suatu kekuasaan mutlak. Sebagai akibat korupsi ketimpangan antara si miskin dan sikaya semakin kentara. Orang-orang kaya dan memiliki politisi korup bisa masuk dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka juga memilik status sosial yang tinggi.
Korupsi menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku yang menggunakan jabatan dan wewenang guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum Dijabarkan pula oleh Dr. Sarlito W. Sarwono, faktor seorang melakukan tindak korupsi adalah factor dorongan dalam diri (keinginan, hasrat, kehendak) dan faktor rangsangan dari luar (kesempatan, dorongan teman-teman, kurang kontrol, dan lain-lain).
Secara bahasa, korupsi berasal dari bahasa inggris, yaitu corrupt, yang berasal daari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rupere yang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya korupsi lebih dikenal menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa adanya catatan administrasi. Pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.
Sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
Ø  Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
Ø  Warisan pemerintahan kolonial.
Ø  sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.

B.   PENJATUHAN PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KASUS KORUPSI DI INDONESIA
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
1)      Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
2)      Pidana Penjara
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
3)      Pidana Tambahan
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
a.       Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
b.      Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
c.       Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
d.      Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
e.       Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
a.       Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
b.      Perbuatan melawan hukum;
c.       Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
d.      Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

C.   KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
1.      koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
2.      supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.      melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4.      melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5.      melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
1.      mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
2.      menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.      meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4.      melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5.      meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Alasan utama yang paling sering disinggung dengan munculny KPK adalah karena mereka tidak lagi dapat memercayai kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kasus-kasus korupsi. Harapan satu-satunya untuk dapat melihat keadilan ditegakkan bagi masyarakat kebanyakan hanya ada di tangan KPK. Berdirinya KPK dalam waktu cepat telah menumbuhkan kepercayaan publik atas pemberantasan korupsi.
Sepak terjang KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang melibatkan pejabat publik dianggap masyarakat mampu menghadirkan proses hukum yang sesungguhnya. Bukan penegakan hukum pura-pura, dagelan, apalagi proses hukum korupsi yang diselimuti oleh praktik korupsi. Kritik terhadap KPK memang tetap ada,namun hal itu lebih sebagai upaya publik mengawasi KPK supaya proses penegakan hukum tidak tebang pilih, diskriminatif, dan manipulatif.
Pengambilalihan kasus oleh KPK dari aparat kejaksaan dan kepolisian belum cukup dijadikan pelajaran yang berguna.Bahkan usaha (jika memang ada dan sungguh-sungguh) untuk memperbaiki citra kejaksaan, misalnya, justru tercoreng oleh ulah beberapa jaksa nakal yang tertangkap basah melakukan ancaman dan pemerasan. Terakhir,Kepala Kejaksaan Negeri Tilamuta yang dicopot oleh Kejaksaan Agung karena beredar rekaman pembicaraannya yang mengancam, memeras, sekaligus menghina satuan penegak hukum lainnya.
Dalam situasi aparat penegak hukum konvensional mengalami kemandekan dalam penanganan kasus korupsi, di sisi lain situasi politik menciptakan korupsi yang kian massif, tentu berharap agar kepolisian atau kejaksaan segera pulih adalah mimpi.
Sebagaimana kita tahu, berbagai modus korupsi yang muncul di berbagai daerah, kebanyakan diotaki oleh kepala daerah atau anggota legislatif,dengan cara yang kasar dan terang-terangan.Tapi tidak ada daya yang cukup untuk menghentikannya, karena mandulnya fungsi penegakan hukum dari kepolisian dan kejaksaan.
Sebagaimana kita tahu,posisi dan peran KPK sebenarnya adalah trigger mechanism. Artinya, KPK didesain untuk mendorong dan memicu lahirnya semangat dan tradisi baru dalam penegakan hukum, khususnya bagi aparat penegak hukum konvensional. Salah satu latar belakang berdirinya KPK adalah karena aparat penegak hukum konvensional telah gagal dalam mengemban amanat konstitusi, yakni melakukan pemberantasan korupsi.
Kehadiran KPK dimaksudkan untuk memberikan teladan, contoh, dan model penegak hukum yang memiliki integritas,profesionalitas, dan independensi yang tinggi. Dengan hadirnya KPK perwakilan, ada kesan yang muncul bahwa KPK akan menggantikan posisi kejaksaan dan kepolisian. Padahal, sejatinya KPK tidak dimaksudkan untuk sampai pada titik ini.
KPK lebih banyak diharapkan dapat memberantas korupsi yang melibatkan pejabat negara dan aparat penegak hukum yang selama ini tidak dapat disentuh oleh aparat penegak hukum konvensional. Pendek kata, tujuan KPK dilahirkan, salah satu yang strategis, adalah memberantas korupsi yang memiliki hambatan politik dan hukum besar. Bukan untuk menangani semua kasus korupsi. Apabila KPK disibukkan dengan berbagai penanganan kasus korupsi, KPK akan menjadi tidak fokus, sehingga melupakan hal-hal yang strategis.
Menghadirkan KPK perwakilan juga berarti pertaruhan integritas.Sebuah kondisi yang sulit dipertahankan dalam level yang paling tinggi saat rentang kendali kian jauh.Dalam ilmu manajemen standar, rentang kendali akan sangat memengaruhi efektivitas dari kontrol itu sendiri. Dengan demikian, tantangan KPK perwakilan adalah bagaimana mereka dapat memastikan bahwa integritas dari orang-orang yang kelak akan mengisi jabatan KPK perwakilan dapat dijaga dengan baik.

D.   DAMPAK YANG TERJADI AKIBAT KORUPSI DAN  UPAYA PENANGGULANGANNYA
Akibat yang ditimbulkan sebagai dampak dari korupsi yaitu
1.      Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2.      ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3.      pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1.      Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2.      Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3.      Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4.      Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Upaya penanggulangan korupsi.
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
a.       Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
b.      Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c.       Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d.      Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.
e.       Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1.      Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2.      Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3.      Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4.      Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5.      Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6.      Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7.      Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8.      Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.
9.      Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10.  Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a.       Preventif.
1.      Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2.      mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3.      Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4.      Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5.      menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6.      Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
b.      Represif.
1.      Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2.      Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

III. KESIMPULAN
1.      Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.
2.      Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
3.      Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif.
Pencegahan(preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara miliknegara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai.
Sedangkan tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar